MILIKILAH SIFAT MALU


Segala puja dan puji hanyalah milik Allah Azza wa Jalla Semata. Shalawat dan salam semoga snantiasa tercurah kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam beserta ahlul baitnya, para shahabatnya, Khulafaur Rasidin, para Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in serta para pengikut setia Beliau SAW hingga akhir zaman.


Para Sahabat rahimakumullah,
Topik kita kali ini adalah berkenaan dengan Sifat MALU, yang seyogianya dimiliki oleh setiap insan. Rasa MALU dan ke-IMAN-an itu adalah sesuatu yang kembar dimana apabila sifat malu itu sudah hilang dari diri seorang manusia, maka alamat akan rusaklah imannya. .

Dari Shahabat Abu Mas’ud r.a. dia berkata, Nabi Shollallahu’alaihi wassallam pernah bersabda: 
"Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun temurun) dari kalimat kenabian terdahulu adalah, "Jika engkau tidak memiliki rasa malu berbuatlah sesukamu". [Shahih Bukhari no.2044-6129]

HIKMAH HADITS
1. Lafadz Hadits ("Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun temurun) dari kalimat kenabian terdahulu) memiliki makna bahwa: warisan-warisan berupa ucapan dari ummat-ummat terdahulu ada yang masih bertahan hingga sekarang.

2. Lafadz ("Jika engkau tidak memiliki rasa malu berbuatlah sesukamu") memiliki beberapa makna yang di jelaskan oleh para ulama, diantaranya:

Secara dhohir lafadz hadits ini adalah Fiil Amr (berbentuk perintah). Maksudnya; "Jika seseorang meninggalkan sifat malu-nya, seakan-akan ia di perintahkan untuk mengerjakan semua larangan". 
Lafadz hadits ini juga bermakna ancaman. Artinya; Lakukan apa saja yang engkau iginkan, karena sesungguhnya Allah SWT akan membalas semua perbuatanmu". (Lihat Kitab Fat-hul Baari oleh Ibnu Hajar (VI/523) & Kitab al-Minhaaj fii Syu'abil Liman oleh al-Hulaimi (III/232) 

PENGERTIAN MALU
Raghib al Asfahani rahimahullah, dalam Kitab Fat-hul Baari, I/102 berkata: "Malu adalah menahan diri agar tidak mengerjakan sesuatu yang tercela dan menahan hawa nafsunya sehingga tidak menjadi seperti binatang" 

Ibnu 'Utsaimin rah.a. dalam Syarh Arba'iin an Nawawi, hal 313 berkata; "Malu adalah suatu ungkapan tentang sebuah reaksi yang terjadi pada diri seseorang ketika terjadi perbuatan buruk, yang membuatnya tercoreng, lalu ia merasa risih (takut diketahui orang) lalu timbullah rasa malu". 

Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela. Adapun asal kata al-hayaa u (malu) berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga berasal dari kata al-hayaa (air hujan).

Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah.

Makna tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi shollallahu’alaihi wassallam, “Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu maka lakukanlah sekehendakmu’”

Terdapat beberapa penjelasan ulama mengenai hadits ini, diantaranya :

Pertama, bentuk hadits di atas adalah perintah tapi maksudnya adalah pemberitaan. Hal ini di karenakan sebagai pencegah utama agar manusia tidak terjerumus ke dalam kejahatan adalah sifat malunya. Maka jika ia meninggalkan sifat malunya, ia seakan-akan di perintahkan untuk mengerjakan semua larangan.

Kedua, hadits di atas merupakan ancaman, artinya lakukan apa saja yang kau inginkan karena sesungguhnya Allah akan membalas semua perbuatanmu.

Ketiga, lihatlah kepada apa yang ingin engkau lakukan. Jika tidak termasuk yang membuat malu maka lakukanlah, jika termasuk yang membuat malu, maka tinggalkanlah.

Keempat, hadits di atas mendorong pada sifat malu dan memuji keutamaannya. Artinya karena seseorang tidak boleh berprilaku semata-mata mengikuti kehendak hatinya, maka ia tidak boleh meninggalkan sifat malunya.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa malu membatasi antara seorang hamba dengan semua larangan atau kemaksiatan. Maka dengan kuatnya rasa malu makin lemahlah kecenderungan seseorang untuk terjerumus dalam kemaksiatan. Sebaliknya dengan lemahnya rasa malu makin kuatlah keinginan seseorang untuk melakukan kemaksiatan.

SIFAT MALU ADALAH AKHLAQ ISLAM
Dari shahabat Anas bin Malik r.a. ia berkata, Nabi Shollallahu’alaihi wassallam pernah bersabda: "Sesungguhnya setiap agama memiliki (ajaran) akhlaq (etika), dan akhlaq Islam adalah Malu". [Shahih Sunan Ibnu Majah No.3390-4257]

SIFAT MALU ADALAH CIRI KHAS KEUTAMAAN MANUSIA
Ketahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari keinginan-keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang. Ingatlah ketika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang lalu nampaklah aurat keduanya.

فَدَلاَّهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْءَاتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: 

وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَن تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَا إِنَّ الشَّيْطَآنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Bukankah Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (Qs. Al-A’raaf [7] : 22) 

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia merasa malu jika tidak berpakaian. Dan tidaklah manusia itu memamerkan auratnya tanpa pakaian kecuali fitrahnya telah rusak. Sedangkan rusaknya fitrah adalah akibat gangguan iblis dan tentaranya. 

Adapun orang yang berupaya menelanjangi badan dari pakaian, melucuti jiwa dari pakaian ketakwaan dan menghilangkan sifat malu kepada Allah dan manusia, mereka itulah yang menginginkan manusia lepas dari fitrahnya dan sifat-sifat kemanusiaannya. Padahal dengan fitrah dan sifat kemusiaannya itulah ia di sebut sebagai manusia.

Sesungguhnya telanjang adalah sifat asli dari hewan, manusia tidak punya kecenderungan kepadanya, jika sampai ada tentulah akan terjerumus dalam Lumpur kehewanan. 

Anehnya, para pembantu syaitan yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin memberikan nama-nama kepada para muslimah di rumah, di jalan, di sekolah atau di mana saja yang mengenakan jilbab, kerudung atau baju yang tebal, julukan yang menyakitkan (fanatik, ortodoks dan lainnya). Padahal wanita muslimah tidak mengenakannya kecuali untuk menjaga kemuliaannya, menjaga auratnya dan agar tumbuh darinya seluruh fitrah islami yang murni, serta agar jelas perbedaan dirinya dengan mereka yang telanjang seperti hewan.

Perhatikanlah, dampak yang di timbulkan dari tempat-tempat mode, para desainer pakaian, salon-salon rias dan guru-gurunya terhadap kaum muslimah jaman sekarang, mereka melancarkan tipu daya dengan berbagai corak dan rupa, sebagaiman firman Allah Ta’ala,

لَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّهِ
“… dan akan aku (syaitan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya…” (Qs. An-Nisa’ [4]: 119)

Ajakan tipu daya tersebut dituruti saja oleh para wanita yang terbiasa berbusana ‘telanjang’. Ketaatan seperti itu menghinakan pelakunya dan sekaligus membuat orang tertawa dan menangis. Merekalah wanita-wanita yang terbius, terbujuk, terpedaya oleh tipu daya syaitan berwujud manusia. Bahkan bisa jadi hewan yang hina sekalipun ikut menjelek-jelekan perilaku mereka yang mengikuti tren.

Mereka tidak menyadari bahwa mereka hanyalah digunakan sebagai propaganda obyek bisnis, apabila sudah tidak berguna lagi maka dicampakkan.

Disisi lain mereka juga dijadikan sarana pemuas syahwat terlarang yang merusak keluarga. Tampil dalam lembaran-lembaran majalah, filem-filem, kisah-kisah dan berita-berita dalam surat kabar. Seolah-olah majalah, surat kabar atau yang lainnya dikemas sebagai tempat pelacuran yang berpindah-pindah.

Jika ada wanita yang ingin menjaga kehormatannya, mereka tatap dengan pandangan penuh kebencian bagaikan penglihatan orang yang pingsan karena takut mati.

Wahai Saudariku janganlah engkau menjadi penolong syaitan yang celaka dan berpegang teguhlah pada Agama Allah dan kekuasaan-Nya.

JENIS-JENIS MALU
Terdapat banyak jenis-jenis malu, diantaranya :

Malu kepada Allah,
Dari shahabat Abdullah bin Mas'ud r.a., ia berkata, Rasulullah Shollallahu’alaihi wassallam bersabda: "Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya".
Kami berkata: "Wahai Rasulullah, kami benar-benar Malu, wal hamdulillah"
Beliau SAW menjawab: "Bukan seperti itu, akan tetapi Malu kepada Allah yang benar adalah: "Memelihara kepala & apa yang ada padanya, memelihara perut & apa yang berhubungan dengannya; mengingat mati dan kehancurannya. Siapa saja yang menghendaki akhirat, maka hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang telah melakukan itu semua, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya". [HR Tirmidzi No.2458]

Ketahuilah sesungguhnya celaan Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah subhanahu wata’ala itu diatas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain.

Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut di cela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Oleh karena itulah malu merupakan sebagian dari iman.

Nabi shollallahu’alaihi wassallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha illallah (tiadak illah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu termasuk salah satu cabang iman.” (HR Bukhari)

Malu kepada Manusia,
Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia kepda sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin menikah.

“Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, bahwasannya ia berkata, ‘wahai Rasulullah Shollallahu'alaihi Wa Sallam, sesungguhnya gadis itu malu. Maka Rasulullah Shollallahu'alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Persetujuannya diketahui dari diamnya’”.

Malunya seseorang terhadap dirinya,
Dan ini salah satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan , kerendahan dan kehinaan. Karena itu engkau akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain.

Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang lain.

KEUTAMAAN-KEUTAMAAN SIFAT MALU

1. Allah mencintai sifat malu,
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemalu dan Maha Menutupi. Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan.” 

2. Malu adalah akhlaq Islam,
“Sesungguhnya setiap agama itu berakhlaq, Sedangkan akhlaq agama islam adalah malu.” 

3. Termasuk bagian dari iman,
Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu, bahwasannya Rasulullah Shollallahu'alaihi Wa Sallam melewati seorang laki-laki dari sahabat Anshar sedang menasehati temannya tetang rasa malu. Lalu Rasulullah Shollallahu'alaihi Wa Sallam bersabda, “Biarkan ia, sesungguhnya malu merupakan bagian dari iman” 

4. Sifat malu mendatangkan kebaikan,
“Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan” 

5. Sifat malu menghantarkan ke surga
“Malu itu bagian dari iman. Dan iman tempatnya di surga, sedangkan ucapan keji termasuk bagian dari tabiat kasar, tabiat kasar itu tempatnya di neraka.” 

6. Sifat Malu adalah penghias semua amalan:
Dari shahabat Anas bin Malik r.a., ia berkata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
"Tidak ada (unsur) malu pada sesuatu, kecuali ia akan menghiasinya". [Shahih Sunan Tirmidzi No.1974]

7. Meneladani salah satu akhlaq Nabi SAW:
Dari shahabat Abu Sa'id al-Khudri r.a., ia berkata, "Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam adalah seorang yang sangat pemalu". [Shahih Muslim No.2149/Adabul Mufrod No.467]

8. Mewarisi akhlaq Malaikat & Shahabat Nabi SAW:
Dari ummul Mukminin 'Aisyah r.a., dia berkata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: "...Sungguh aku malu terhadap orang yang malaikat merasa malu terhadap orang itu" (maksudnya shahabat Utsman bin Affan) [Shahih Muslim No.1637]

9. Bahkan sifat malu pun telah tertanam pada orang-orang Arab Jahiliyyah.  [HR Bukhari 7-7/5]

PERKARA-PERKARA YANG DAPAT MENINGKATKAN RASA MALU

Muraqabatullaah (merasa terus diawasi Allah),
Kapan saja seorang hamba itu merasa Allah sedang melihat kepadanya dan berada dekat dengannya, ia akan mendapatkan ilmu ini (muraqabatullaah) karena rasa malunya kepada Allah.

Mensyukuri nikmat Allah,
Sifat malu akan muncul dengan memikirkan nikmat Allah yang tidak terbatas, pada hakikatnya orang yang berakal akan merasa malu untuk menggunakan nikmat Allah untuk berbuat maksiat kepadanya.

PERKARA-PERKARA YANG TIDAK TERMASUK MALU

Tidak berkata atau tidak terang-terangan dalam kebenaran,
Allah berfirman,
وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
“… dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar …” (Qs. Al-Ahzaab [33]: 53) 

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (I/52) berkata, “Dan tidak boleh dikatakan bahwa bisa jadi malu itu menjadi penghalang untuk berkata yang benar, atau mengerjakan kebaikan karena malu yang seperti itu bukan malu yang syar’i (sesuai syariat)”

Imam an-Nawawi rahimahullah, dalam Syahr Shahih Muslim (II/5), “Terjadi masalah pada sebagian orang yaitu orang yang pemalu kadang-kadang merasa malu untuk memberitahukan kebaikan kepada orang yang ia hormati. Akhirnya ia meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Terkadang sifat malunya membuat ia melalaikan sebagian apa yang menjadi haknya dan hal-hal lain yang biasa terjadi dalam kebiasaan sehari-hari.”

Malu dalam mencari ilmu’
Dalam QS An-Nahl [16]: 43; Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُو
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan*828 jika kamu tidak mengetahui" {828: Ya'ni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang nabi dan kitab-kitab.)

‘Aisyah berkata r.a., “Sebaik-baik wanita adalah para wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama” 

Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Tidak akan bisa mencari ilmu (dengan benar) orang yang malu mencarinya dan orang-orang yang sombong.” 

ORANG YANG TIDAK PUNYA RASA MALU:

1. Orang yang melakukan "al-Mujaharoh" (Membeberkan Aib sendiri)
Dari Shahabat Abu Hurairah r.a., dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Semua umatku akan diampuni dosanya kecuali orang yang berbuat dosa secara terang-terangan". (Shahih Bukhari no:2037-6069)

2. Meminta-minta
(Lihat Shahih HR Abu Dawud no.1640)

3. Menunda membayar hutang sedangkan ia mampu.
(Lihat Shahih HR Abu Dawud no.3628)

(Sumber: Silahkan klik disini)

Para pembaca rahimakumullah, 
Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrat, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.

Malu adalah Iman
Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan (sesuatu yang kembar). Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)

Malu, Kunci Segala Kebaikan
Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.
Abu Hatim berkata: “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”
Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:

Bila cahaya wajah berkurang, maka berkurang pula rasa malunya
Tidak ada keindahan pada wajah,
Bila cahayanya berkurang Rasa malumu peliharalah selalu,
Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang,
Adalah rasa malunya.


Bukannya Tidak Pede
Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala atau karena manusia. 


Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’i, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang Pria Muslim atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Alloh-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Allah-lah yang paling berhak kita malui?
Al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu". Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, 

وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
“Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS: Al-Ahzab [33]: 53)”.

Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan: Saya tidak tahu”.

Imam Bukhari rahimahulloh berkata: “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)

Harus Ditumbuhkan
Sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah kita, jika kita terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati kita telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, yang artinya: “Pada dirimu ada dua sifat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab; “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR: Ibnu Abi ‘Ashim).

Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatulloh, dan pendekatan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.



(Sumber Rujukan: Al-Qur’an, Fathul Bari, Hadits Bukhori dan Muslim dan berbagai sumber lainnya)

Baca juga Artikel mas Haryo Bayu di sini


Posting Komentar

1 Komentar