Versi Al-Quran Dan Qira'at


Ada hal yang tidak banyak diketahui oleh umumnya umat muslim, yakni bahwa Al-Quran memiliki beberapa versi. Tapi "versi" di sini bukan dimaksudkan seperti versi alkitab kristen yang isinya berbeda-beda, tapi versi dalam artian perbedaan jumlah ayat atau bunyi bacaan. Kendati demikian , hal ini tidak membawa perbedaan dalam pesan ayat-ayat Al-Quran.

Jika diibaratkan, maka ini mirip dengan buku berupa tulisan dan audio. Isinya tetap sama, tetapi berbeda cara pengucapan/penyampaian. Perbedaan ini pun sebenarnya dibenarkan oleh sumber paling utama yaitu nabi Muhammad saw sebagai penerima wahyu.

Umat Islam secara mayoritas biasanya tidak sadar mengenai perbedaan ini karena perbedaan yang ada hanya akan dirasakan oleh segelintir umat islam dunia saja. Jadi, mayoritas umat islam hampir pasti tidak akan pernah merasakan perbedaan ini sama sekali, karena mereka selalu menggunakan versi Al-Quran yang sama.

Geografi tempat tinggal umat islam yang “Al-Qurannya berbeda” ini biasanya berada di afrika utara, seperti libya, maroko, aljazair dsb. Ada juga yang berada di afrika tengah dan sebagian kecil timur tengah.

Jadi muslim yang tidak tinggal di negara-negara itu, hampir pasti tidak akan pernah bertemu dengan versi Al-Quran lainnya ini.

Apabila ada yang bertanya, versi mana yang paling benar?
(Insya Allah) jawabannya adalah semuanya!

Meskipun versi mayoritas (hafs) memiliki kelebihan dalam utak-atik matematika Al-Quran, seperti perhitungan jumlah huruf di suatu ayat dsb. Hanya versi hafs yang bisa menghasilkan kesetimbangan dan ketepatan matematis, bukan versi lainnya.

Untuk diketahui juga, pengetahuan terhadap keterjagaan Al-Quran di sini tidaklah begitu diperlukan dalam TIA.

Seorang pengkaji Al-Quran sebenarnya cukup menggunakan postulat keterjagaan Al-Quran. Dari sisi seorang muslim, ini juga bagian keimanan, sama seperti keimanan kepada hal-hal ghaib. Meskipun tentu saja adanya pengetahuan akan jauh lebih membawa kebaikan daripada ketiadaan ilmu.

Kegunaan pengetahuan mengenai keterjagaan Al-Quran
Kegunaan utama jelas adalah seorang muslim yang memiliki pengetahuan ini tidak akan mudah dipengaruhi oleh propaganda anti islam. Dengan memahami bahwa keterjagaan Al-Quran bersifat obyektif, maka keimanan seseorang akan semakin kuat. Hal ini juga semakin meneguhkan sifat keobyektifan dan kekonsistenan agama islam, suatu semangat dasar Tafsir Ilmiah Al-Quran atau dikenal juga dengan singkatan TIA. 

Pada akhirnya, mengetahui hal ini juga akan membantu dalam menahan munculnya sikap kesombongan. Dengan mengetahui dinamika tersebarnya umat islam, seorang muslim tidak akan bersikap sok benar, merasa ahli surga dsb. Ini karena untuk hal-hal yang bisa dikatakan primer, yaitu keterjagaan Al-Quran, ada perbedaan di kalangan umat islam yang mutlak harus ditoleransi dan diterima. Dari sini, semangat yang sama, juga haruslah lebih diterima lagi untuk hal-hal yang sekunder.

Semua ini tentu saja selama tidak ada yang membawa keburukan, baik terhadap penyerahan diri kepada Allah atau kemanusiaan. Pada akhirnya, kalau suatu paham membawa keburukan maka jelas mutlak harus ditolak.



Sekilas mengenai perbedaan (versi) Al-Quran

Perbedaan (versi) Al-Quran pada prinsipnya terkait dengan dua hal.
  • Perbedaan jumlah ayat. Situasi ini terjadi akibat perbedaan tanda berhenti penanda ayat, yang berefek pada perbedaan jumlah ayat.
  • Perbedaan bacaan Al-Quran, kata yang digunakan, dan kadangkala juga (sedikit) makna. Situasi ini terjadi akibat perbedaan dialek bahasa arab yang digunakan. Meskipun begitu, hal ini tidak akan mengakibatkan perbedaan makna atau pesan yang disampaikan oleh suatu ayat Al-Quran.

Untuk diketahui, perbedaan ini tidak ada hubungannya dengan hadits mengenai tujuh arhuf. 
Menurut catatan sejarah, khalifah Utsman ra sudah membakar semua arhuf selain arhuf quraisi. Dari sini, hadits tujuh arhuf tidak memiliki kegunaan lagi, karena sejak masa Utsman ra sudah tersisa satu saja. Apa yang tersisa adalah metode perbacaan atau qira'at.

Jadi setelah Utsman ra memusnahkan semua arhuf dan menyisakan satu saja, dirinya memberikan salinan Al-Quran kepada umat islam di daerah berbeda. Tiap Al-Quran itu dibaca secara berbeda oleh masing-masing masyarakat di tempat yang berbeda, akibat perbedaan dialek, logat dsb.

Jadi ini seperti orang yang menuliskan surat dalam bahasa inggris, dan kemudian memberikan surat tersebut kepada orang-orang yang berbahasa inggris, tapi di daerah berbeda, seperti amerika, kanada, inggris dsb. Di sini semua surat tersebut, meskipun memiliki isi sama, tapi bunyi/suara pembacaan akan berbeda.

Untuk diketahui pula, perbedaan ini sebenarnya diajarkan oleh Rasulullah saw.
Ini karena ketika beliau mengajarkan islam kepada masyarakat yang berbeda kabilah/suku dengan dirinya, beliau menyesuaikan pembacaan Al-Quran agar lebih sesuai dan mudah untuk lidah mereka. Jadi perbedaan ini diakibatkan oleh syiar islam.

Kemunculan qira'at
Untuk diketahui, pada masa penulisan awal Al-Quran, ayat Al-Quran tidak memiliki tanda harakat, tanda titik dsb. Masyarakat islam pada masa itu, sebagian besar arab, sudah bisa memasukkannya semua tanda tersebut ke dalam huruf arab gundul. Tapi lambat laun, islam berkembang dan tidak semua muslim baru adalah orang arab yang bisa membaca arab gundul tanpa harakat atau titik.

Dari sinilah dilaksanakan penulisan Al-Quran dengan harakat, tanda titik dsb, penulisan ini disebut qira'at.

Jadi qira'at bisa dianggap sebagai ilmu untuk membantu orang non arab dalam membaca tulisan Al-Quran masa awal, dengan memberikan tanda harakat, tanda titik dsb.

Penulisan Al-Quran dengan harakat (huruf vokal) dilakukan mengikuti kebiasaan masyarakat setempat. Karena Al-Quran sebelumnya sudah dibaca secara berbeda, oleh masyarakat yang berbeda, maka dari sinilah muncullah berbagai macam qira'at.

Jadi qira'at ini seperti penulisan logat/dialek secara resmi. Semua qira'at yang dibuat adalah qira'at yang sudah disepakati dan ditelusuri memiliki riwayat pengajaran kepada nabi muhammad saw. Jadi semua qira'at sebenarnya adalah Al-Quran yang sama, yang sama-sama diajarkan Rasulullah saw.

Jadi apabila ada perbedaan pada pembacaan Al-Quran, atau Al-Quran yang dianggap berbeda dsb, sebenarnya itu hanyalah perbedaan qira'at, yang tidak menghasilkan perbedaan pada pesan/makna Al-Quran.

Contoh qira'at
Contoh paling gampang adalah kata Allah. Ada Al-Quran dimana kata Allah itu vokal keduanya panjang (Allaah) dan ada juga yang pendek (Allah).

Biasanya kalau di indonesia yang dipakai adalah versi panjang, sedangkan versi pendek biasanya terbitan luar negeri. Keduanya sama saja maknanya dan merujuk pada Dzat yang sama.

Memang kadangkala dalam bahasa arab, perbedaan panjang pendek suatu vokal bisa menghasilkan makna yang jauh berbeda, sebagai contoh kata “la” (pendek) dan “laa” (panjang). Tapi dalam situasi ini tidak demikian adanya.

Contoh qira'at bisa dicermati dalam video ini



Apabila anda perhatikan, qira'at di sana, utamanya hanyalah perbedaan tanda harakat, dari yang “alaihim” menjadi “alaihum” dsb. Ini karena Al-Quran Utsmani tidak disebarkan dengan tanda harakat, masyarakat arab di daerah yang mengisi vokal (harakat) itu sesuai logat/dialek/kebiasaan mereka.

Lihat juga:

Sekilas perkembangan huruf arab
Garis hitam adalah rasm, yang sudah ada sebelum masa islam. Titik merah (ijam, syakal)adalah penanda titik untuk membedakan huruf-huruf yang bentuknya mirip. Garis biru adalah harakat sebagai bunyi vokal

Gambar di atas adalah bentuk tulisan arab modern.

Bentuk tulisan arab ketika Utsman menyebarkan salinan Al-Quran, hanya berupa huruf-huruf konsonan yang berwarna hitam. Pada waktu itu belum ada tanda titik yang berwarna merah (ijam) dan juga tanda vokal (harakat) yang berwarna biru.

Para penutur arab sendiri yang harus mengisinya sesuai logat, kebiasaan mereka.

Dapat dilihat juga, tanpa ada ada tanda titik merah, sulit bagi yang tidak bisa berbahasa arab untuk membedakan apakah akhir ayat tersebut harus berakhiran “nun” atau “ba” atau “ta” dsb.

Baru setelah islam berkembang, muncullah tanda merah untuk membantu muslim non arab yang tidak bisa membedakan huruf-huruf arab tersebut dalam membaca Al-Quran. Sekaligus tanda biru untuk mereka yang tidak bisa memberikan harakat sendiri (ilmu nahwu sharaf).

Jadi warna merah (ijam, syakal) dan biru (harakat) sebenarnya adalah perkembangan bahasa arab untuk mempermudah non arab dalam membaca tulisan Al-Quran (arab). Pada masa sekarang juga, tulisan bahasa arab biasanya tidak memiliki tanda harakat (biru), tapi tanda ijam (merah) biasanya tetap dipakai.

Tanda harakat biasanya hanya dipakai untuk menulis Al-Quran.

Perbedaan bacaan Al-Quran seperti “alaihim” dan “alaihum” adalah perbedaan dalam mengisi warna biru.Sedangkan perbedaan lainnya, huruf yang digunakan, terjadi dalam mengisi titik warna merah. Meski demikian, perbedaan huruf ini tidak menimbulkan perbedaan dalam pesan Al-Quran.

Versi Al-Quran dalam jumlah ayat
Perbedaan paling jelas dalam qiraat adalah perbedaan jumlah ayat. Untuk ini perlu dipahami bagaimana pembentukan ayat oleh para sahabat.

Kita ketahui bersama bahwa Al-Quran diturunkan dalam bentuk suara yang didengar oleh Rasulullah saw. Ketika beliau menerima wahyu, beliau kemudian melafalkannya kepada para sahabat. Setelah ini, barulah para sahabat menuliskan pelafalan itu ke dalam bentuk tulisan arab.

Penulisan sahabat mengenai Al-Quran ini diberikan penanda ketika Rasulullah saw berhenti sejenak dalam pelafalan Al-Quran beliau. Penanda tersebut biasanya menandakan ayat, tapi tidak selalu. Ini dikarenakan suatu waktu Rasulullah saw berhenti cukup panjang, sehingga tidak ada keraguan bahwa itu adalah berhenti karena ayat. Tapi dalam waktu lain, beliau sering juga hanya berhenti sebentar, dan kadangkala juga tidak berhenti dst.

Dari sinilah, penulisan tanda berhenti tidaklah mutlak, yang menyebabkan penanda ayat sering tidak disepakati secara total.

Ketika Utsman ra menyebarkan mushaf ke daerah umat islam, untuk diingat lagi, bentuk arabnya adalah gundul, yang sangat sederhana, yang tidak ada tanda titik dsb.

Meskipun ada tanda berhenti, tapi tanda berhenti ini tidaklah mutlak menandakan ayat, karena banyak juga yang hanya jeda pendek mengambil nafas dsb. Masyarakat suatu daerah yang kemudian membacanya dan menganggapnya berhenti panjang sebagai ayat, atau sekedar berhenti pendek mengambil nafas, berhenti panjang tapi bisa dilanjutkan dsb, sesuai kebiasaan mereka.

Dari sini terjadi pembedaan antara satu daerah dan daerah lain dalam kaitannya dengan pembacaan tanda berhenti di dalam Al-Quran.

Ketika dilakukan pembentukan qiraat, permasalahan tanda berhenti ini diperbaiki secara menyeluruh.
Jeda waktu yang lama dianggap sebagai penanda akhir ayat. Tapi kadangkala untuk ayat yang sama, rasulullah kadangkala melafalkannya dengan penyambungan, ini sebabnya ada tanda dilarang berhenti (LamAlif) di akhir ayat, sebagai penanda meskipun akhir ayat dapat dibaca bersambung dsb.
Dari sinilah jumlah ayat untuk tiap qiraat menjadi berbeda.
Contoh versi tanda berhenti ayat

Contohnya adalah surat alfatihah.
Ada versi Al-Quran (versi normal di indonesia) dimana alfatihah dimulai dari basmallah dan ayat ke-7 tergolong panjang. Tapi ada juga versi Al-Quran lain (diberi nama versi asing) dimana alfatihah dimulai dari alhamdulillah dan ayat ke-7 (versi normal) terbagi dua, dimana ayat ke-6 diakhiri “alaihim”, dan ayat ke-7 dimulai dari kata “ghairi”.

Jadi perbedaan di antara dua versi tersebut sebenarnya hanyalah perbedaan tanda berhenti yang dianggap sebagai ayat saja. Tapi secara keseluruhan tidak ada Al-Quran dimana misalkan ayat ke-7 surat al-fatihah nyasar misalkan ke surat al-baqarah.

Jadi isi Al-Quran, huruf-hurufnya secara berurutan, semua isinya cenderung selalu sama (lagi-lagi ada perbedaan qira'at yang menyebabkan perbedaan huruf, bukan hanya harakat).

Kalau ada perbedaan, maka itu terletak pada tempat berhenti penanda ayat, yang menyebabkan beberapa surat di Al-Quran versi A memiliki perbedaan ayat daripada Al-Quran versi B dsb.

Ini sebabnya ada banyak versi jumlah ayat Al-Quran, ada yang bilang 6236, 6214, 6616 dsb.
Tapi apabila isi dari semua Al-Quran itu diperbandingkan, maka isinya selalu cenderung sama, secara urutan kata, dari al-fatihah sampai an-naas.



Versi Al-Quran dalam bunyi bacaan
Selain perbedaan harakat dan tanda berhenti, yang menyebabkan perbedaan jumlah ayat, perbedaan lain adalah perbedaan huruf yang dipakai, yang berarti adalah perbedaan makna kata.

Jadi sebenarnya memang benar kalau dikatakan ada versi Al-Quran dalam artian ada sebagian kata yang dipakai berbeda. Kendati demikian, semua Al-Quran tersebut selalu memiliki makna/pesan yang sama.

Di sini kita akan menggunakan contoh Al-Quran hafs (umum dipakai di dunia) dan warsh (biasanya di afrika utara).

Contoh ayat 2:85

Salah satu perbedaan Al-Quran hafs dan warsh adalah perbedaan di akhir ayat 2:85.

"Kemudian kamu (Bani Israel) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya. kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu/mereka perbuat."  (QS Al-Baqarah:85)

Perhatikan kata yang dicetak tebal kamu dan meraka. Al-Quran hafs menggunakan redaksi “kamu perbuat” (ta’maluun), dan warsh menggunakan redaksi “mereka perbuat” (ya’maluun).

Bagi orang yang tidak mengerti, atau memang berusaha mendiskreditkan Al-Quran, maka perbedaan ini jelas adalah perbedaan besar. Tapi apabila dikaji secara mendalam, sebenarnya tidaklah demikian situasinya.

Ini karena kedua jenis kata itu, kata “kamu” atau “mereka”, semua tetap merujuk pada pihak yang sama yaitu bani israil.

Pada versi hafs, seperti tidak ada jeda dengan kalimat sebelumnya. Jadi seorang pembaca Al-Quran akan bisa menyimpulkan bahwa “kamu” merujuk sama dengan “kamu” di bagian depan ayat, yaitu bani israil.

Tapi pada versi warsh, kalimat ini seperti terpisah, dan terjeda, dan Al-Quran seperti menutup ayat dengan berbicara kepada pembacanya. Akibatnya, di sini Al-Quran tidak menggunakan redaksi “kamu”, tetapi “mereka” untuk tetap merujuk kepada bani israil.

Pada kedua versi tersebut, hafs atau warsh, semuanya memiliki makna dan pesan sama, yaitu Allah SWT tidak lengah terhadap apa yang bani israil (kamu/mereka) perbuat.

Jadi memang harus diakui, ini adalah kata yang berbeda, tetapi merujuk pada suatu hal yang sama, dan pada akhirnya pesan ayat yang juga sama.

Asal muasal perbedaan ini
Seperti sudah dijelaskan, ketika mushaf Utsman ra disebarkan, tulisan arab masih berupa tulisan arab gundul, yang tidak memiliki tanda titik dsb.

Dari sini, sebenarnya pada waktu itu, tidak ada mekanisme sama sekali untuk membedakan huruf-huruf arab yang memiliki bentuk depan atau tengah atau belakang sama. Contoh huruf semacam ini adalah huruf “ya” (dua titik dibawah), “ta” (dua titik di atas), “ba” (satu titik di bawah), “nun” (satu titik di atas), tsa (tiga titik di atas).

Semua huruf tersebut tidak bisa dibedakan, dan hanya kebiasaan serta pengetahuan orang arab terhadap bahasa arab yang membuat mereka bisa membedakannya.

Tapi kebiasaan serta pengetahuan ini juga terpengaruh dari logat, dialek dsb. Dari sinilah, tidak semua masyarakat akan membaca suatu bentuk depan sebagai “ya”, sebagian lain akan membacanya sebagai “ta”. Inilah sebabnya bisa muncul perbedaan “ya’maluun” dan “ta’maluun.

Tidak ada perbedaan lain lagi
Selain dari semua perbedaan di atas, perbedaan harakat, perbedaan terhadap jumlah ayat, dan perbedaan terhadap huruf-huruf yang bentuknya sama (yang ada tanda titiknya), semuanya akibat qiraat, tidak ada lagi perbedaan di antara semua Al-Quran yang beredar di dunia.

Jadi kalau ada yang mengklaim ada perbedaan dalam bentuk partikel “dan (wawu)” yang hilang, atau ada kata yang hilang, atau ayat yang hilang, maka hal itu tidak usah dipedulikan.

Semua bukti terhadap perbedaan semacam itu tidak ada yang bersifat obyektif, dan hanya klaim sepihak.


Manfaatnya bagi TIA
Perbedaan dalam “versi” Al-Quran ini bagi konvensional jelas tidak akan terasa membawa manfaat.
Paling jauh adalah paksaan untuk menumbuhkan sikap bertoleransi sesama umat islam. Tapi bagi pengkaji Al-Quran dengan TIA, perbedaan ini memiliki manfaat yang sangat besar.

Dari adanya versi Al-Quran ini, tapi semuanya selalu berpijak pada aturan bahwa Al-Quran terjaga dan selalu benar, maka ini memberikan pengkaji Al-Quran dengan TIA tambahan data untuk memahami suatu ayat dengan lebih baik lagi.

Sebagai contoh adalah di ayat QS. 2:85 tadi.
Pengkaji Al-Quran, anggap saja menggunakan versi hafs, juga tidak bisa berbahasa arab, bisa saja memaknai kata “kamu” bukan merujuk kepada bani israil, tetapi pembaca Al-Quran.

Tentu saja ini utamanya terjadi karena ketidaktelitian, karena kalau menggunakan aturan kuanta, maka makna kata “kamu” bisa merujuk pada bani israil atau pembaca Al-Quran.

Dari sini haruslah dilakukan analisa dengan lebih mendalam lagi, dan hampir bisa dipastikan jawabannya adalah bani israil karena penggunaan tanda berhenti (ilmu tajwid), dimana yang status berhenti di situ kurang dianjurkan.

Tapi apabila dikaji juga dengan versi warsh, seorang pengkaji Al-Quran tidak perlu memikirkan kembali apakah kata kamu merujuk kepada pembaca Al-Quran atau bani israil, ini karena jawabannya sangatlah jelas yaitu bani israil.

Dari sini, versi Al-Quran yang berbeda justru membantu dalam memahami Al-Quran dengan lebih baik, mencegah terjadinya kesalahan.

Meskipun tidak semua Al-Quran yang beredar di dunia sama persis, situasi ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan.

Pada akhirnya semuanya selalu memiliki kesamaan terhadap makna/pesan yang disampaikan.
Hal ini juga memberikan pelajaran kepada umat islam untuk harus selalu bertoleransi terhadap kegiatan keagamaan yang berbeda.

Pada akhirnya, fungsi utama Al-Quran bukanlah sekedar bahan bacaan belaka. Tetapi sebagai sebagai pedoman, petunjuk yang lengkap dan terperinci untuk umat islam.

"Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu," (QS Hud:1)

Wallaahu a’lam bish-shawaab
dan Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui
Wassalaamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


[Lukita Prakasa Sugiri Putra]



Posting Komentar

0 Komentar