Segala puja dan puji hanyalah milik Allah Azza wa Jalla Semata. Shalawat dan salam semoga snantiasa tercurah kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam beserta ahlul baitnya, para shahabatnya, Khulafaur Rasidin, para Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in serta para pengikut setia Beliau SAW hingga akhir zaman.
MUKAMDIMAH
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”.
Yang dimaksud dengan HADITS MASYHUR di sini bukan sebagaimana definisinya di dalam Ilmu Mushthalah Hadits, yaitu hadits yang merupakan bagian dari hadits Ahad dan mata rantai periwayatnya dari jenjang pertama hingga terakhir (pengarang buku) .
Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.
Contohnya, sebuah hadits yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” [HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi].
Hadits masyhur ini juga disebut dengan nama AL-MUSTAFIDH.
Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi pengertian memiliki satu sanad, memiliki beberapa sanad, dan tidak tanpa sanad sama sekali; seperti:
- Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas: “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” [HR. Bukhari dan Muslim]
- Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya: “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” [HR. Bukhari dan Muslim].
- Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya: “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” [HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dha’if].
- Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya: “Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” [HR. Al-hakim dan Ibnu Hibban]
- Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya: “tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” [HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. (Lihat Nudhatun-Nadhar halaman 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533).
Yang dimaksud dengan HADITS MASYHUR disini bukan sebagaimana definisinya di dalam Ilmu Mushthalah Hadits, yaitu hadits yang merupakan bagian dari hadits Ahad dan mata rantai periwayatnya dari jenjang pertama hingga terakhir (pengarang buku) berjumlah 3 sampai 9 orang pada setiap levelnya. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah Hadits-hadits yang masyhur (tersohor) karena sering diucapkan oleh lisan atau sering diperdengarkan, terutama oleh para penceramah, alias sudah menjadi buah bibir dan disampaikan dari mulut ke mulut.
Dalam hal ini, para ulama banyak yang menulis buku jenis ini karena sangat penting sekali diketahui oleh umat. Hadit-hadits yang ada di dalamnya bervariasi baik dari aspek kualitas maupun tema dimana ia sering dibicarakan orang dan didengar. Masalahnya, ketika seseorang mengucapkannya atau menukilnya, dia seakan mengatasnamakan Rasulullah alias bahwa ia adalah sabda beliau.
Tentu saja, hal ini amat berbahaya bagi umat karenanya para ulama hadits mengantisipasinya dengan mengarang buku jenis ini hingga dapat memudahkan umat di dalam mencari hadits-hadits yang kira-kira sering diucapkan dan didengar tersebut, terkadang menyatakan kualitasnya.
HADITS PERTAMA
“Dinginkanlah makanan, sebab (makanan) yang panas itu tidak ada berkahnya”
Sumber Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daylamy dari Ibnu ‘Umar
Kualitas Hadits
Ini adalah ‘HADITS DHA’IF’ (Lemah)
Tentang kelemahan hadits ini juga disebutkan di dalam buku-buku berikut:
al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Alâ al-Alsinah, karya Imam as-Sakhâwy, hal. 11 ; Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts Fî m6a yadûru ‘alâ Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya ‘Abdurrahman bin ‘Aly bin ad-Dîba’, hal. 5; Kasyf al-Khafâ’ wa Muzîl al-Ilbâs ‘Ammâ Isytahara Min al-Ahâdîts ‘Alâ Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûny, Jld I, hal. 28; Dla’îf al-Jâmi’ wa Ziyâdatuhu, karya Syaikh al-Albany, no. 37
Tema Hadits
Ada sementara orang yang memberikan nasehat agar jangan melumat makanan yang masih panas tetapi perlu ditunggu dulu hingga adem/dingin sehingga tidak membahayakan.
Bila sebatas alasan tersebut, maka tidak ada masalah selama tidak menggunakan hadits diatas sebagai dalilnya terus meyakininya. Realitasnya, ada sementara orang pula yang berdalih dengan hadits diatas bahwa makanan yang panas itu tidak memiliki BERKAH padahal kualitas hadits tersebut ‘DHA’IF alias LEMAH.
Para ulama sepakat bahwa HADITS DHA’IF tidak dapat dijadikan hujjah kecuali di dalam masalah ‘Fadlâ’-il al-A’mâl’ dimana mereka masih berselisih pendapat tentang ‘kebolehan’ menggunakan hadits DHA’IF terhadap masalah tersebut.
Pendapat yang rajih/kuat dan berkenan di hati adalah berlaku secara umum, artinya semua hadits DHA’IF tidak dapat dijadikan sebagai hujjah selama tidak ada pendukung lain yang menguatkan dan mengangkat statusnya.
[Diambil dari buku ‘ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah’, karya Imam as-Suyuthy, (tahqiq/takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbagh), hal. 74, hadits no. 51]
HADITS KEDUA
"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling dibenci di sisi Allah"
Sumber Hadits
Redaksi seperti ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud dan Ibn Mâjah dari hadits 'Abdullah bin 'Umar.
Dalam redaksi Imam al-Hâkim,
"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."
Di dalam redaksi kitab Sunan ad-Daylamiy dari Mu'adz bin Jabal disebutkan,
"Sesungguhnya Allah membenci thalaq dan menyukai 'itâq (memerdekakan budak)."
Dalam redaksi yang lainnya - di dalam kitab yang sama - dari jalur Muqâtil bin Sulaiman dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya secara Marfu', "Tidak ada sesuatu yang halal yang dihalalkan oleh Allah lebih dicintai-Nya dari nikah; dan tidak ada sesuatu yang halal tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."
Di dalam kitab Târîkh Ibn 'Asâkir dari jalur Ja'far bin Muhammad; Syuja' bin Asyrasy menceritakan kepada kami, dia berkata: ar-Rabî' bin Badr menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Abi Qilâbah, dari Ibn 'Abbas secara Marfu' ditulis dalam redaksi berikut,
"Tidak ada dari sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah bagi kalian yang paling dibenci di sisi-Nya selain thalaq."
Kualitas Hadits
Kualitas hadits dalam pembahasan kita di atas (no.2) adalah DHA'IF' (Lemah) dari sisi Sanad nya.
Tentang kelemahan hadits ini dapat dirujuk pada buku-buku berikut:
(Sunan Abî Dâwud, jld.II, hal.342, no.2177,2178; Sunan Ibn Mâjah, jld.I, hal.650, no.2018; al-Mustadrak, karya Abu 'Abdillah al-Hâkim, jld.II, hal.196 . Lafazh redaksi al-Hâkim terdapat di dalam Sunan Abi Dâwud; as-Sunan al-Kubra, karya al-Baihaqiy, Jld.VII, hal 322; Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy, jld.IV, hal.143; al-Kâmil, karya Ibn 'Adiy, Jld.IV, hal.1630; al-Jâmi' al-Kabîr, karya Imam as-Suyuthiy, Jld.I, hal.690;)
Mengenai perawi bernama Muqâtil, menurut para ulama, dia lemah dalam periwayatan hadits.
Untuk mengetahui tentang apa saja cacat (Jarh) yang dituduhkan kepadanya, silahkan lihat:
Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy, jld.IV, hal.173 dan halaman setelahnya; al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Alâ al-Alsinah, karya Imam as-Sakhâwy, hal. 12; Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts Fî m6a yadûru 'alâ Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya 'Abdurrahman bin 'Aly bin ad-Dîba', hal. 5; Kasyf al-Khafâ' wa Muzîl al-Ilbâs 'Ammâ Isytahara Min al-Ahâdîts 'Alâ Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûny, Jld I, hal. 29; Dla'îf al-Jâmi' ash-Shaghîr, karya Syaikh al-Albany, no. 44)
Tema Hadits
Hadits tersebut sering dijadikan dalil di dalam menyatakan bahwa syari'at Islam amat membenci suatu perceraian (thalaq).
Adalah merupakan hal yang disepakati bahwa syari'at amat mencela terjadinya thalaq sebab memiliki implikasi yang negatif.
Pertanyaan: Landasannya apa?
Sebagian ulama berhujjah dengan hadits ini dengan menyatakan bahwa ia hadits yang Shahîh dan Muttashil (bersambung mata rantai periwayatnya hingga kepada Rasulullah). Sedangkan sebagian ulama lagi, mengatakan bahwa ia hadits yang Dha'îf (Mursal).
[Diambil dari buku 'ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah', karya Imam as-Suyuthy, (tahqiq/takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbagh), hal. 57, hadits no. 1]
CATATAN:
- Menurut Muhaqqiq (peneliti) buku yang kami bahas diatas, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbagh, kualitas hadits tersebut adalah DLA'IF (MURSAL). Hal ini berdasarkan rujukan-rujukan yang kami sebutkan diatas. Pendapat ini nampaknya juga diambil oleh Syaikh al-Albaniy dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah.
- Sementara di dalam fatwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` (lembaga resmi fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI), disebutkan bahwa hadits tersebut SHAHIH MUTTASHIL bukan hadits MURSAL secara Sanad dan Matan (Lihat, Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` , jld.IV, Hal.438-439, no. fatwa.11005)
HADITS KETIGA
"Menalqin Mayit adalah setelah dikuburkan"
Permasalahan Talqin Mayit merupakan salah satu hal yang krusial dan perlu difahami secara benar, mengingat ibadah adalah hal yang bersifat Tawqîfiyyah (sebatas nash dan sumbernya) sehingga di dalam melaksanakannya perlu ada nash yang pasti; shahih, sharih (jelas) dan kuat.
Dalam hal ini perlu ada pemilahan; antara Talqin Mayit yang disyari'atkan dan yang tidak disyari'atkan.
Yang disyari'atkan adalah Talqin Mayit sebelum meninggal alias saat menghadapi sakratul maut karena memang didukung oleh dalil-dalil yang shahih. Yaitu, menalqinkan orang yang sedang sekarat tersebut dengan kalimat Tauhid "Lâ ilâha Illallâh".
Sedangkan yang tidak disyari'atkan adalah ketika sudah meninggal dunia, apalagi sudah dikuburkan. Adalah musibah besar bilamana hal yang serius seperti ini dilakukan berdasarkan hadits yang tidak ketahuan juntrungannya; apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
Nah, dalam silsilah kali ini kami mengangkat hadits tentang talqin mayit setelah dikuburkan tersebut, Bagaimanakah kualitasnya?
Sumber Hadits
Redaksi seperti ini diriwayatkan di dalam Mu'jam ath-Thabaraniy dengan SANAD DHA'IF (LEMAH)
Catatan Terhadap Kualitas Hadits
Komentar tentang kualitas hadits tersebut diatas disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam bukunya ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah. Penahqiq (analis) buku tersebut, Syaikh Muhammad Luthfiy as-Shabbâgh menyatakan bahwa hadits tersebut berstatus : MAUDHU'
Dasarnya
Kitab al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya Imam asy-Syawkaniy, Hal.268; Kitab Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi'iy al-Kabîr karya Ibn Hajar, Jld.II, Hal.136, sekalipun beliau sudah berupaya untuk menguatkannya; Kitab Zâd al-Ma'âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, Hal.145. Beliau mengomentari hadits diatas, "Tidak shahih (bila dikatakan) Marfû' (terangkat periwayatannya hingga sampai kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam)."; Kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm karya ash-Sha'âniy, Jld.II, Hal.113. Beliau berkata, "Pengarang kitab al-Manâr berkata, 'Sesungguhnya ulama yang menggeluti hadits tidak meragukan lagi hadits talqin tersebut adalah MAWDLU'.' " ; Kitab Fatâwa an-Nawawiy karya Imam an-Nawawiy, Hal.37; Kitab Majma' az-Zawâ`id karya Ibn Hajar al-Haytamiy, Jld.III, Hal.45
Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh selanjutnya berkata, "Sedangkan menalqinkan mayit sebelum meninggal (saat menghadapi sakarat) dengan kalimat Tauhid, maka hal ini memang valid dan banyak sekali hadits-hadits Shahîh yang menegaskan hal itu. Bisa dilihat pada komentar kami terhadap hadits no.322 pada kitab Mukhtashar al-Maqâshid (al-Hasanah, karya as-Sakhawiy-red.,) dengan tahqiq kami."
(Diambil dari: Kitab ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyuthiy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh, Hal.196, Hadits no.469.
HADITS KEEMPAT
"Siapa Yang Mengenal Dirinya, Maka Dia Telah Mengenal Rabb-nya"
Kita sering mendengar banyak sekali para penceramah ataupun akademisi yang sering berargumentasi dengan ungkapan seperti ini karena mengira ia adalah hadits Rasulullah yang perlu diimani dan terkadang sering disalahtafsirkan, khususnya penganut aliran Wahdatul Wujûd. Karena itu, benarkah ungkapan tersebut merupakan hadits Rasulullah yang shahih sehingga dapat dijadikan hujjah?
Naskah Hadits
"Man 'Arofa Nafsahu, Faqad 'Arofa Rabbahu" - "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Rabb-nya."
Imam an-Nawawiy berkata, "Hadits ini tidak valid."
Ibn as-Sam'aniy berkata, "Ini adalah ucapan Yahya bin Mu'adz ar-Raziy."
CATATAN:
Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbaq (penahqiq) buku ad-Durar al-MuntatsirahFîal-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy (buku yang kita kaji ini) berkata, KUALITASNYA MAUDHU' (PALSU);
Dasarnya
Silahkan lihat: Fatâwa an-Nawawiy, h.120; al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.419; al-Asrâr al-Marfû'ah Fî al-Akhbâr al-Mawdlû'ah, karya Mala al-Qariy, h.506; Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr 'Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba', h.165; Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs 'Amma isytahara Min al-Ahâdîts 'Ala Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûniy, Jld.II, h.262; al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fî al-Ahâdîts al-Mawdlû'ah, karya Imam asy-Syaukaniy, h.87; Asnâ al-Mathâlib, karya Muhammad bin Darwîsy al-Hût, h.219; Risalah: al-Qawl al-Asybah Fî Hadîts Man 'Arafa Nafsahu 'Arafa Rabbahu, karya Imam as-Suyûthiy di dalam kitabnya al-Hâwiy, Jld.II, h.412; Tadrîb ar-Râwiy, karya Imam as-Suyûthiy, h.370; Tadzkirah al-Mawdlû'at, karya al-Fitniy, h.16; al-Fatâwa al-Hadîtsiyyah, karya Ibn Hajar al-Haitamiy, h.211; Hilyah al-Awliyâ`, karya Abu Nu'aim al-Ashfahâniy, Jld.X, h.208]
[Sumber: ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahadits al-Musytahirah karya Imam as-Suyuthiy, tahqiq oleh Syaikh.Muhammad Luthfiy ash-Shabbagh, h.173, hadits no.393]
HADITS KELIMA
"Surga Itu Di Bawah Telapak Kaki Ibu"
Hadits ini tentunya tidak lagi asing bagi siapapun, sebab sangat sering diucapkan ataupun didengar melalui berbagai media. Namun ada hal yang perlu diklarifikasi lagi mengingat penisbahannya kepada sabda Rasulullah bukanlah hal main-main; apakah kualitas hadits dengan redaksi seperti itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya? Atau jika memang demikian, apakah ada hadits dengan naskah yang lain? Ataukah hanya maknanya saja yang shahih?
Naskah Hadits
"Surga itu di bawah telapak kaki ibu."
Penjelasan:
Hadits dengan redaksi seperti ini disebutkan oleh Imam as-Suyûthiy di dalam kitabnya ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah (buku yang kami gunakan sebagai rujukan dalam kajian ini), dengan menyatakan bahwa ia diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Anas.
Namun penahqiq (analis) atas buku tersebut, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh memberikan beberapa anotasi berikut:
"Hadits dengan redaksi (lafazh) seperti ini kualitasnya Dha'îf (lemah). Menurut saya, menisbahkannya kepada Imam Muslim perlu diberi catatan.
Imam ash-Shakhawiy berkata, 'Demikian ini, padahal ad-Dailamiy telah menisbahkannya kepada Imam Muslim dari Anas, karena itu perlu diverifikasi kembali.'
Al-Ghumâriy ketika memberikan anotasi atas hal itu berkata, 'Sama sekali Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini, sekalipun Imam az-Zarkasyiy dan as-Suyûthiy menisbahkan kepadanya mengikuti Imam ad-Dailamiy.'
Untuk itu, perlu merujuk kepada buku-buku berikut:
[Ahâdîts al-Qushshâsh karya Ibn Taimiyyah, h.70; al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.176; Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr 'Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba', h.63; Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs 'Amma isytahara Min al-Ahâdîts 'Ala Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûniy, Jld.I, h.335; Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzhabiy, jld.IV, h.220; al-Fawâ`id al-Maudlû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya al-Karmiy, Hal.147; al-Kâmil karya Ibn 'Adiy, Jld.VI, h.2347; Dla'îf al-Jâmi' karya Syaikh Nashiruddin al-Albâniy, No.2666]
Syaikh al-Albâniy berkata, "Hadits tersebut (diatas) tidak diperlukan lagi karena sudah ada hadits sebelumnya yang dimuat di dalam kitab ash-Shahîh, no.1249 dengan lafazh, "Berbaktilah terus kepadanya (sang ibu) karena surga itu berada di bawah telapak kakinya."
Yang dimaksud oleh Syaikh al-Albâniy tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Mu'âwiyah bin Jâhimah yang dikeluarkan Imam Ahmad (Jld.III:429) dan an-Nasâ`iy. Lihat juga, Sunan Ibn Mâjah, no.2781 dan al-Mustadrak karya al-Hâkim, Jld.II, h.104.
[Sumber: ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy, tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh, h.105-106, no.178]
Demikian sedikit contoh hadits dari ratusan hadits lainnya yang memang terasa sangat akrab di telinga kita saking masyhurnya, namun ternyata menurut para Muhaqqiq, "Hadits Masyhur belum tentu shahih karena masih perlu kajian mendalam guna memastikan kebenarannya." [1]
Dengan demikian, kita perlu sering-sering mengingatkan diri sendiri agar senantiasa ekstra hati-hati dalam menyebarkan berbagai hadits, atau yang kita percaya sebagai hadits, karena khusus tentang ini, sekalipun demi syiar Islam Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Sampaikanlah olehmu sekalian dariku meski hanya satu ayat (Al-Qur’an).”
Namun "wasiat" tsb disusul dengan peringatan sangat keras dari beliau sendiri, yakni:
“Siapapun yang mendustakan aku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki tempat kembalinya di neraka!” [HR Bukhari]
Pesan tsb mengandung makna sangat jelas, yaitu JANGAN BERDUSTA dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW.
Dalam hal ini, menyebarkan hadits-hadits yang sejatinya BUKAN BERASAL DARI BELIAU tentu saja termasuk dalam kategori BERDUSTA atas nama beliau!
Wallau 'alam bishawwab.
Dalam hal ini, menyebarkan hadits-hadits yang sejatinya BUKAN BERASAL DARI BELIAU tentu saja termasuk dalam kategori BERDUSTA atas nama beliau!
Wallau 'alam bishawwab.
Semoga bermanfaat!
Sumber
Ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy,
tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh, hal.105-106, No.178
CATATAN
[1] Pentahqiq atau Muhaqqiq adalah orang yang berusaha untuk membersihkan tulisan seorang penulis hadist ataupun syarah dari kekhilafannya dalam menukilkan hadits dhoif maupun maudlu' (palsu) yang dengannya menjadikan hadist tersebut bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Pentahqiq haruslah seorang ulama yang menguasai ilmu mustholah hadits dan fasih dalam ilmu pendukung lainnya .
Pentahqiq pada umumya adalah ulama' – ulama' yang hidup setelah kitab hadist atau syarah itu dibuat, walaupun juga ada pentahqiq yang sezaman dangan penulis hadist h tersebut atau bahkan ada penulis hadist yang langsung mentahqiq hadistnya sendiri, seperti Imam al-Hafidz Abu Isa bin Isa bin Sauroh bin Musa bin ad-Dohhaq as-Sulamy at-Tirmidzi atau yang lebih dikenal dengan Imam at-Tirmidzi beliau menulis kitab al-Jami' yang terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi sekaligus mentahqiqnya.
[1] Pentahqiq atau Muhaqqiq adalah orang yang berusaha untuk membersihkan tulisan seorang penulis hadist ataupun syarah dari kekhilafannya dalam menukilkan hadits dhoif maupun maudlu' (palsu) yang dengannya menjadikan hadist tersebut bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Pentahqiq haruslah seorang ulama yang menguasai ilmu mustholah hadits dan fasih dalam ilmu pendukung lainnya .
Pentahqiq pada umumya adalah ulama' – ulama' yang hidup setelah kitab hadist atau syarah itu dibuat, walaupun juga ada pentahqiq yang sezaman dangan penulis hadist h tersebut atau bahkan ada penulis hadist yang langsung mentahqiq hadistnya sendiri, seperti Imam al-Hafidz Abu Isa bin Isa bin Sauroh bin Musa bin ad-Dohhaq as-Sulamy at-Tirmidzi atau yang lebih dikenal dengan Imam at-Tirmidzi beliau menulis kitab al-Jami' yang terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi sekaligus mentahqiqnya.
0 Komentar