MEMAHAMI PERINTAH; SAMPAIKANLAH WALAU HANYA SATU AYAT





Banyak saudara-saudara muslimin kita yang agaknya keliru dalam memahami hadits ini:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku (yakni dari Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam) walau hanya satu ayat.” [HR Al-Bukhari 3/1275 no 3274][1]

Demikian pula dengan hadits ini:
لِيَبْلُغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ
Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir…” [Muttafaqun ‘alaih]

Hadits ini tidak dimaksudkan sebagai "pokoknya sampaikan saja", karena sesungguhnya sebelum menyampaikannya, kita sendiri harus benar-benar memperhatikan hal-hal sbb:
  1. Ilmu (pengetahuan) yang disampaikan haruslah shahih, berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih, bukan dari hadits-hadits dhaif atau Maudhu’ [2]
  2. Ilmu (pengetahuan) yang disampaikan harus disampaikan dengan pemahaman yang benar. Karena bisa jadi walaupun ilmu (pengetahuan) tsb shahih, tapi ternyata pemahaman kita tidak seperti yang diinginkan oleh Allåh SWT dan Råsul-Nya.
  3. Ilmu (pengetahuan) yang disampaikan hendaknya disertai penguasaan yang paripurna. Artinya kita harus benar-benar memahami Ilmu (pengetahuan) dimaksud, karena dengan penguasaan yang baik ini, kita terbebas dari segala kerancuan, kesalahpahaman, dan kekeliruan terhadapnya. Penguasaan yang baik juga akan menjadikan kita berpijak pada "bayan" (penjelasan) yang terang, jelas, dan meyakinkan (tanpa keragu-raguan). Di samping itu hendaknya kita pun mengetahui jawaban-jawaban syubahat yang berkaitan dengan ilmu (pengetahuan) tsb, sehingga jika ada yang mendebatnya dengan syubahat, maka kita dapat menjawabnya dengan benar. Dengan demikian mudah-mudahan kita dapat menjadi sebab hidayah bagi orang-orang yang menerima penyampaian.
  4. Tidak lupa dan tidak kalah pentingnya adalah, hendaknya kita juga mengetahui maslahat dan mudharat dari penyampaian sebuah ilmu (pengetahuan). Karena tidak setiap ilmu (pengetahuan) yang kita miliki harus disampaikan kepada orang lain.

Dari Mu’adz radliallahu ‘anhu, ia berkata: 
“Aku pernah membonceng di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diatas seekor keledai yang diberi nama ‘Uqoir. Lalu beliau bertanya: 

يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?” 

Aku jawab: “Allah dan Rosul-Nya yang lebih tahu”.
Beliau bersabda: 

فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا 
“Sesungguhnya hak Allah atas para hamba-Nya adalah hendankah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”

وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“dan hak para hamba-Nya atas Allah adalah seorang hamba tidak akan disiksa selama dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.

Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab: 

لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
“Jangan kamu beritahukan mereka sebab nanti mereka akan berpasrah saja”. [HR. Bukhariy]

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, berkata:
“Berbicaralah kepada manusia dengan ucapan yang mereka fahami. Apakah kalian ingin Allah dan RasulNya di dustakan?" [Diriwayatkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al Fatawi Al Kubra; juga Imam Adz Dzahabi dalam Syi'ar A'lam An Nubala]

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, 
“Tidaklah engkau menyampaikan (suatu ilmu) kepada suatu kaum dengan sebuah pembicaraan yang tidak bisa dicapai oleh akal mereka melainkan pasti akan menimbulkan fitnah/kesalahpahaman pada sebagian mereka.” [HR. Muslim dalam mukadimah shahihnya]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
"Sangat dianjurkan untuk tidak menyampaikan hadits kepada orang yang ditakutkan (baca: dicurigai) akan membawa hadits tersebut ke arah kesesatan…” [Fathul Bari: 1/45]

Jadi, jika ada satu saja ilmu yang benar-benar kita kuasai - dan memenuhi kriteria di atas - maka  sampaikanlah!

Jika tidak memenuhi salahsatu syarat di atas (atau bahkan tidak memenuhi semua syarat di atas), maka belajarlah terlebih dahulu. Jangan sampai semangat mendahului ilmu!

Al-Qosim bin Muhammad berkata,
“Termasuk bentuk pemuliaan seseorang terhadap dirinya yaitu ia tidak berkata kecuali sesuatu yang ia telah kuasai ilmunya” [Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 805]


Wallåhu a’lam bissyawwab
Semoga bermanfa’at!


[Sumber: Ustadz Firanda | Dari Tarbiyah Dziyah]


-----------------------
CATATAN KAKI
[1] Para ulama berbeda pendapat tentang "makna ayat” dalam hadits ini 
  • Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat Al-Qur’an. Berkata Al-Baydhowi, “Maka menyampaikan hadits dipahami dengan mafhum awlawi” (Umdatul Qori 16/45)
  • Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan yang berfaedah (yaitu hadits-hadits Nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam, atsar salafush shålih, dll. )
  • Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hukum-hukum yang diwahyukan kepada Nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam. Maka lebih luas daripada hanya sekedar ayat yang dibaca. (Tuhfatul Ahwadzi 7/360)



Posting Komentar

0 Komentar